Lia Eden dan Kesombongan

Diposting oleh Mystery Kid | 02.38 | | 4 komentar »

Jakarta - Lia Eden ditangkap. Wanita yang mengaku malaikat Jibril itu kembali dijadikan tersangka. Dia dituding melakukan pelecehan agama karena menyebarkan ‘maklumat’ yang berisi penghapusan agama. Salahkah dia?

Keyakinan memang milik pribadi. Di relung terdalam rasa yakin itu bersembunyi. Baik dan buruk menjadi hak prerogatif. Tidak untuk diwacanakan dan didiskusikan, tetapi untuk dijalani ‘secara pribadi’. Sebab diskusi soal kebaikan itu bukan kebaikan, tapi sekadar diplomasi agar kelihatan seperti baik.

Sebagai hak pribadi, privasi keyakinan jadi terganggu dan mengganggu tatkala ditularkan. Dia bakal tersandung berbagai pranata hukum dan ‘keyakinan’ seperti yang menimpa Al Hallaj atau Syech Siti Jenar. Juga mendatangkan situasi tidak aman dan tentram sebagai dasar prinsip keyakinan. Kisruh konsekuensinya karena kontras dengan tempat dan waktu.

Lia Aminuddin dengan komunitas Kaum Eden terkena itu. Wanita kelahiran Surabaya ini harus menerima risiko setelah ‘tidak dipedulikan’ saat mengaku Jibril, menyebut Imam Mahdi, Al-Masih atau Bunda Maria yang melahirkan Yesus Kristus. Hukum cukup jeli membedakan hak pribadi dan ‘hak’ orang banyak.

Tapi ketika ‘privasi keyakinan’ itu dipublikasikan dan bersinggungan dengan agama yang lain, hukum negara pun menjeratnya. Lia harus menerima itu. Dia divonis bersalah dan meringkuk di penjara, yang kini setelah bebas tersandung kembali kasus serupa.

‘Kerajaan tuhan’ (t kecil) memang bukan monopoli Lia. Di negeri ini, ratusan ‘kerajaan’ sama tersebar di mana-mana. Berpuluh-puluh tahun mengitari Nusantara membuka mata saya untuk tidak gampang kaget saban mendengar peristiwa yang mengagetkan. Sebab selama dalam perjalanan itu saya sering melihat dan bersinggungan dengan sosok yang mengaku sebagai kiai sampai nabi, dari yang merasa menjadi dewa hingga tuhan.

Di Fatukopa Pulau Timor, misalnya, penduduknya percaya batu cadas berdiri garang di kampung ini sebagai situs kapal Nabi Nuh. Mereka menggelar ritus naik bukit tegak lurus untuk menyembah tuhan, uis neno, tuhan yang tampak, yaitu matahari. Itu salah satu tuhan selain uis pah (tuhan tanah) dan uis oel (tuhan air).

Di pedalaman Pulau Haruku saya juga sempat ‘terlibat’ ‘ritus jubah putih’ yang meyakini telapak tangan yang membekas di bukit kapur di daerah bekas pangkalan Jepang di perang dunia kedua itu sebagai telapak Sayyidina Ali. Ritus ini amat memacu jantung karena dilakukan secara sembunyi, bisu, dan dalam keheningan belantara sepi.

Di teluk Saleman Pulau Seram ritus sejenis juga rutin terjadi. Penduduk setempat percaya sebagai keturunan kelelawar. Mereka menggelar upacara sakral dengan mentato wajah bagi calon panglima perang. Dan binatang yang jumlahnya jutaan yang keluar dari gua di daerah ini harus dikuburkan jika gagal terbang menyeberangi lautan di sore hari.

Di Papua maupun di Pulau Yamdena, patung yang dibuat bukanlah sekadar karya seni. Patung itu disakralkan karena diyakini sebagai awal mula manusia hidup di dunia. Kisah yang mirip dongeng Pinokio si hidung panjang itu diyakini benar. Dan itu ‘sah’ karena tidak ‘menempel’ ke agama yang punya legalitas di negeri ini, dan tidak ditular-tularkan ke pemeluk keyakinan lain, serta ‘tidak berbahaya’.

Disebut berbahaya, karena banyak ‘sekte’ macam ini yang menggelar ‘upacara kematian massal’. Misalnya seperti sekte ‘Kuil Rakyat’ (People’s Temple) yang dipandegani Jim Jones di Jamestown Amerika Serikat. Di tahun 1978 sang panutan ini mengajak pengikut melakukan bunuhdiri massal. Begitu juga dengan sekte Ranting Daud yang didirikan David Koresh. Mereka rela melepas nyawa daripada diinterogasi petugas keamanan.

Namun kenapa mantan ‘pemeluk agama samawi’ itu ‘terjerumus’ memasuki wilayah yang bukan ‘maqomnya’, mengaku sebagai manusia yang mendapat wahyu? Mungkin pendapat Syeh Abdul Kadir Jailani (Jilani) bisa dijadikan patokan untuk menjawab itu. “Jika engkau merasa mendapat wahyu’ rujukkan dengan Alquran dan hadis. Jika tidak sesuai itu ulah setan, tapi kalau sesuai itu adalah egomu. Kesombonganmu.”

Adakah Lia dan tokoh-tokoh ‘sempalan’ itu sombong? Jawabnya ada dalam hati kita masing-masing. Yang jelas, fanatisme sempit membuat hati kita tertutup. Tertutup dari kebenaran. Kebenaran Tuhan. Naudzubillahi mindzalik !



Ditulis oleh Djoko Suud: seorang pemerhati budaya.


Related Posts by Categories